Sabtu, 08 Mei 2010

Serat Indartini tentang Centhini di rinai hujan pagi ini...

6 Mei 2010...
Judul di atas terkesan maksa dan ngejar rima banget ya.. ^_^
Guru lagu begitu orang jawa bilang.
Seperti juga dalam Serat Centhini yang berisi pupuh atau bait yang sangat mengejar rima atau guru lagu. Nama tokoh Syekh Amongraga bisa menjadi Syekh Amongragi, Ki Bayu Panurta-pun bisa menjadi Ki Bayi.

Membaca Serat Centhini, 40 malam mengintip sang pengantin versi novelnya, sering membuatku terkantuk-kantuk dan akhirnya lelap. Apa aku terpengaruh si Centhini yang sering terserang kantuk ketika mengintip bendoronya, Tambangraras ya? ^_^
Padahal orang bilang serat Centhini adalah kamasutranya orang Jawa. Benarkah?...
Sampai sekarangpun aku tak paham apa dan bagaimana Kamasutra itu. Kalau gak salah buku itu tentang... Sudah ah.. Kita kembali ke Serat Centhini saja. ;-)

Serat Centhini...
Semula aku awam, apa itu Centhini, Serat Centhini...
Ternyata Centhini adalah seorang batur, pelayan yang mana ibunya juga seorang centhi, seorang batur, pembantu rumah tangga juga.
Centhini dan bendoronya sangat akrab sekali. Dan si Tambangraras ini punya ketergantungan yang amat sangat kepada si Centhini. Sehingga ketika dia menikah dan harus melewati 40 malam pengantin, Centhini tidak boleh jauh darinya. Ketika Tambangraras dan suaminya Syekh Amongraga berada di dalam kamar pengantin, Centhini menungguinya di depan kamar pengantin.

Mulai malam pertama sampai malam ke 17 ini aku lalui dengan terkantuk-kantuk. Biasanya buku setebal ini aku bisa menyelesaikan paling lama selama 4 hari. Entah kenapa aku lebih khusyu' menyelesaikan buku yang baru kubeli dengan ketebalan yang tidak jauh beda. Apa mungkin karena Centhini juga bosan dan jemu menjalani aktifitasnya ya?... Masa sampai malam ke 17 sprei putih itu masih memplak?.... Masih putih bersih, tidak ada noda darah... Berarti tidak terjadi saresmi (hubungan badan) atau jangan-jangan.... Begitulah pikiran Centhini berkecamuk. Saat itulah yang sangat ditunggu-tunggunya. Karena dia harus melaporkan kepada Nyi Malarsih, ibunda Tambangraras. Apa maksudnya?.. Begitulah cerita ini terbentuk.

Sampai malam ke 17 ini, yang terjadi adalah wejangan-wejangan Amongraga kepada Tambangraras yang menurut Centhini kadang sulit dipahami.... Yang membuat dia sering terlelap karena kantuk.
Dalam Serat Centhini versi novel ini, berisi pergulatan pikiran Centhini sepanjang hari dan sepanjang malam tentang Amongraga, Tambangraras, keluarga mereka serta adat kebiasaan masyarakat Wanamarta dimana mereka tinggal. Amongraga konon adalah keturunan Sunan Giri, yang menghilang dari Giri ketika Giri ditaklukkan oleh Mataram yang ekspansif. Putra Sunan Giri 3 orang. Jayengresmi, Jayengsari dan Rancangkapti. Jayengresmi inilah yang berganti nama menjadi Amongraga dalam pelariannya.

8 Mei 2010

Sejak lepas dari malam ke 17, aku sudah mulai menemukan feelnya novel Serat Centhini ini. Mungkin juga karena si Centhini sudah mulai tercerahkan dan lebih kritis dalam mengintip dengar dan menyikapi hidup di kesehariannya.
Ada kata-kata simbok Centhini yang sekarang menjadi begitu bermakna bagi Centhini.
"Lapar adalah lauk pauk bagi nikmatnya makan kita"
Dulu Centhini pikir itu hanya cara menenangkan diri karena hanya bisa makan apa adanya. Di hari ke 19 Centhini seolah tersadarkan, begitulah caranya menikmati hidup, bukan dari apa yang ada di luar diri kita, tapi tergantung dari sikap dan cara berpikir kita.
Dan Centhini-pun telah belajar dan telah meyakini pilihan hidupnya menjadi centhi sebagai abdi pelayan bagi kehidupan.

Maka sejak kemarin pula aku sangat berhasrat sekali menyelesaikan membaca buku ini. Dan tuntas juga buku ini tadi pagi, di tengah rinai sedari tadi.... :-)

Meski aku orang Jawa, awalnya aku 'gak mudheng blas' membaca pupuhnya yang bahasa Jawa klasik banget. Tapi lama-lama aku menikmatinya. Membaca pupuh-pupuh ini, rentetan kata-katanya sangat luar biasa indah dan halusnya. Memang sangatlah layak jika Serat Centhini ini ditahbiskan sebagai karya sastra hebat yang memenuhi syarat sebagai sebuah maha karya sastra. Padahal aku tidak baca serat Centhini secara utuh sebagaimana aslinya. Bagaimana kalau aku mendalaminya seperti Inandiak ya???.... Inandiak karena ketertarikannya kepada Jawa dia rela stay di Jawa selama 15 tahun. Ironis ya, karya sastra hebat yang bisa disejajarkan dengan karya sastra dunia ini justru diterjemahkan ke dalam bahasa lain dan bahasa Indonesia oleh bangsa Perancis, bukan bangsa kita. Maka tidak aneh jika muncul slogan 'wong jawa kog ra ngerti jawane'. Aduuuh.... maluu... malu banget yach???!!!...
Mangkane dulur kekabeh... ayo podho sregep moco ben ra ketinggalan jaman. Ayo sregep nulis ben biso memayu kahanan. Memayu hayuning bawana.... :-)
He lhadalah...langit kelap-kalap katon, bumi gonjang-ganjing... Ooo... throthok thok thok thok thok thok5x......
Duh Gusti Kang Murbeng Dumadi.....