Selasa, 04 Mei 2010

Dan kaca-kaca itupun lebur....



PrwaaAng... Prweng... PrwaAaang.... PyaaRRR!!!...
Begitu suara pecahan kaca itu menggelegar memekakkan telingaku... Direnggutnya kaca-kaca itu, dipatahkan, dibanting, dilempar. Prwaaang!... Beberapa kali serpihan kaca itu hampir mengenai wajahku... Aku takut kaca-kaca itu akan melukai dirinya, melukai tangannya.

Tangan seorang wanita setengah baya yang begitu perkasanya mengais-ngais pecahan kaca bagai mengais daun kering yang berserakan dengan tangannya tanpa beban. Kadang kala dia menarik paksa kaca-kaca yang terselip tanpa ragu sedikitpun akan terluka. Aku yang memandangnya dari sudut sini ngeri membayangkan seandainya sekali saja pinggiran kaca yang tajam itu menggores kulitnya, luka yang dalam, seketika akan mengucurkan tetesan derah merah, dan perih...

Tetapi melihat kepiawaiannya bekerja, rasanya kejadian seperti itu akan jarang sekali terjadi.
Dengan kaos tangan berbahan kain rajut tebal dan sepatu plastik warna ungu muda yang terlihat lusuh itu dia bekerja. Dibantu dengan dua asisten yang membantunya mengangkat ke dalam bak trek. Yang seorang adalah sopir trek yang membantu sekedarnya saja. Dan yang seorang lagi aktif membantu si ibu mengais sampah kaca dan memanggulnya untuk ditaruh ke dalam bak trek dengan menggunakan box plastik. Beberapa kali aku miris khawatir ujung pecahan kaca itu akan mengenai wajahnya. Wajah si abang terlihat dingin, seolah sudah lupa cara tersenyum. Entah sudah berapa panggul saja dia wira-wiri memanggul pecahan kaca ini ke dalam trek.

Kurang lebih 20 menit jerit pekik kaca-kaca inipun usai. Si abang bermuka dinginpun rehat sejenak untuk meneguk air mineral yang aku suguhkan. Mungkin sedikit menyegarkan hatinya yang keruh. Si ibu masih mengais sisa-sisa kaca yang masih tersisa.

Harga sebuah pekerjaan. Dan si ibu ini melakukannya tanpa beban, ringan saja. Akupun menyerah saja sampah-sampah ini mau dihargai berapa. Seandainya tidak dihargai/dibelipun aku tak mengapa sejujurnya. Karena bagiku ini sampah. Dan sampah-sampah ini jika tidak ada yang mengambil tentu akan menggunung. Ini sampah kaca, si ibu ini akan menjualnya ke pabrik untuk diproses lagi menjadi lembaran kaca yang lebih berarti. Ada nilai ekonomi dalam sampah kaca ini. Ibu ini menghargainya Rp 50 ribu, semuanya. Harga ini naik dari tahun-tahun sebelumnya. Awal-awal dulu hanya dihargai Rp 10 ribu, kemudian Rp 15 ribu. Dan sekarang naik sekian.

Bagiku, pemandangan penghancuran kaca pagi ini melukiskan kerasnya hidup yang dijalani oleh si ibu dan si abang.
Si ibu, kenapa dia bekerja sedemikian kerasnya?.. jauh-jauh dari darah asalnya jawa barat sana. Dimanakah suaminya? apakah dia bersuami? Anak-anaknya bagaimana? atau si abang ini anaknya?

Pertemuan yang singkat. Karena sedari tadi suara kaca yang banyak terdengar, bibir-bibir tajam kaca yang berbicara. Dan serpihan kaca-kaca ini telah meninggalkan makna dalam hati.
Hidup dan kehidupan adalah netral. Mau kita isi apa hidup ini, terserah kita. Dan hasilnya juga terserah dari apa yang telah kita usahakan. Dari apa yang telah kita gores untuk mengisi lembar demi lembar kehidupan ini.
Dan apa yang telah kita gores di dunia ini, kelak di akherat akan dihamparkan di depan mata kita, tak ada yang luput barang sedikitpun. Dan kelak kitapun akan terheran-heran karena catatan itu begitu detailnya.

Hari ini... Apa yang akan kita goreskan???....