Minggu, 23 Mei 2010

"KENAPA MEMBACA SASTRA?"


Kenapa membaca sastra???...
Di suatu masa, entah kapan dan dimana, seseorang mungkin akan bertanya kepadamu.
"Kenapa dirimu membaca sastra?"
Karena sastra, yang pertama dan utama, memberi pelajaran tentang hidup.
Pelajaran yang tak didapat di ruang-ruang kelas manapun.
Karena sastra adalah seni.
Seni bercerita, seni kata, gaya bahasa, pilihan kata, cara pengungkapan penuh makna.
Karena sastra bisa mengetuk pintu hati untuk sampai pada kesadaran.
Kesadaran tentang hidup dan kehidupan, tentang kenyataan, tentang ketulusan, tentang diri dan orang lain, tentang kemanusiaan dan dunia, tentang alam semesta, Tuhan dan cinta.
Dari gelapnya rimba belantara hingga batas cakrawala.
Karena sastra juga berarti menata hati dan pikiran, segenap panca indera, jiwa dan raga.
Karena sastra memberi hati pada duka luka, pada kepedihan, penderitaan dan kebahagiaan. Karena sastra menerbitkan tangis dalam tawa.
Selalu ada masanya sastra memberi rasa bagi mereka yang mati rasa. Atau sekedar mencoba damai dengan rasa hampa karena sastra memberi cahaya.
Karena sastra menyentuh relung jiwa, menginspirasi sanubari dan karena sastra memberi getar pada hidup.

Ouw.... so sweet!!!... ^_^
Kutemukan ini di sebuah threat dalam forum diskusi Goodreads, by Pandasurya pada tanggal 4 Januari 2010. Suka banget dengan pilihan kata-katanya. Pendalaman dia tentang sastra.
Menarik sekali mengikuti forum diskusi di dunia maya tersebut. Aku suka terbengong-bengong membaca ulasan dan komentar penggila buku tersebut. Gabung di forum ini asyik banget.

Iya, gak tau bagaimana bermula, aku tiba-tiba saja menyukai buku-buku sastra. Berawal menemukan buku Pramudya Ananta Toer lalu Ahmad Tohari kemudian A.A. Nafis. Wuih... semenjak itu aku jadi tergila-gila pada karya sastra. Membaca karya-karya mereka serasa terbuai indahnya bahasa. Aku baru bener-bener merasakan indahnya berbahasa Indonesia. Ternyata bahasa Indonesia itu asyik juga. ^_^

Selasa, 18 Mei 2010

Yang tak akan hilang...


Kala senja menghilang

Malampun datang

Keheningan meruyak di sepanjang

Terpekur di dinding kaca yang rembang

Menginsyafi kejadian yang tak terulang

Hitamnya  yang nyalang

Putihnya yang lengang

Silih berganti menghadang

Membuncah membelai jiwa yang goyang

Di keheningan malam yang rindang

Tersungkurku mengharapMu, yang maha sayang

Melepasi, melucuti segala yang terkenang

Luruh dari segala bayang

Hanya padaMu yang tak pernah hilang

Yang tak akan hilang

Rabu, 12 Mei 2010

Ilalang ....
















Langit kelam di dahan
Mendung bergelayut di kedalaman
Ilalang kering di sisi jalan
Menanti sejuknya guyuran sang hujan

Pelangi kan datang
Menenggelamkan kelam dan gamang
Menyapu mendung yang usang
Ilalang... kapankah itu kan datang???....

Sabtu, 08 Mei 2010

Serat Indartini tentang Centhini di rinai hujan pagi ini...

6 Mei 2010...
Judul di atas terkesan maksa dan ngejar rima banget ya.. ^_^
Guru lagu begitu orang jawa bilang.
Seperti juga dalam Serat Centhini yang berisi pupuh atau bait yang sangat mengejar rima atau guru lagu. Nama tokoh Syekh Amongraga bisa menjadi Syekh Amongragi, Ki Bayu Panurta-pun bisa menjadi Ki Bayi.

Membaca Serat Centhini, 40 malam mengintip sang pengantin versi novelnya, sering membuatku terkantuk-kantuk dan akhirnya lelap. Apa aku terpengaruh si Centhini yang sering terserang kantuk ketika mengintip bendoronya, Tambangraras ya? ^_^
Padahal orang bilang serat Centhini adalah kamasutranya orang Jawa. Benarkah?...
Sampai sekarangpun aku tak paham apa dan bagaimana Kamasutra itu. Kalau gak salah buku itu tentang... Sudah ah.. Kita kembali ke Serat Centhini saja. ;-)

Serat Centhini...
Semula aku awam, apa itu Centhini, Serat Centhini...
Ternyata Centhini adalah seorang batur, pelayan yang mana ibunya juga seorang centhi, seorang batur, pembantu rumah tangga juga.
Centhini dan bendoronya sangat akrab sekali. Dan si Tambangraras ini punya ketergantungan yang amat sangat kepada si Centhini. Sehingga ketika dia menikah dan harus melewati 40 malam pengantin, Centhini tidak boleh jauh darinya. Ketika Tambangraras dan suaminya Syekh Amongraga berada di dalam kamar pengantin, Centhini menungguinya di depan kamar pengantin.

Mulai malam pertama sampai malam ke 17 ini aku lalui dengan terkantuk-kantuk. Biasanya buku setebal ini aku bisa menyelesaikan paling lama selama 4 hari. Entah kenapa aku lebih khusyu' menyelesaikan buku yang baru kubeli dengan ketebalan yang tidak jauh beda. Apa mungkin karena Centhini juga bosan dan jemu menjalani aktifitasnya ya?... Masa sampai malam ke 17 sprei putih itu masih memplak?.... Masih putih bersih, tidak ada noda darah... Berarti tidak terjadi saresmi (hubungan badan) atau jangan-jangan.... Begitulah pikiran Centhini berkecamuk. Saat itulah yang sangat ditunggu-tunggunya. Karena dia harus melaporkan kepada Nyi Malarsih, ibunda Tambangraras. Apa maksudnya?.. Begitulah cerita ini terbentuk.

Sampai malam ke 17 ini, yang terjadi adalah wejangan-wejangan Amongraga kepada Tambangraras yang menurut Centhini kadang sulit dipahami.... Yang membuat dia sering terlelap karena kantuk.
Dalam Serat Centhini versi novel ini, berisi pergulatan pikiran Centhini sepanjang hari dan sepanjang malam tentang Amongraga, Tambangraras, keluarga mereka serta adat kebiasaan masyarakat Wanamarta dimana mereka tinggal. Amongraga konon adalah keturunan Sunan Giri, yang menghilang dari Giri ketika Giri ditaklukkan oleh Mataram yang ekspansif. Putra Sunan Giri 3 orang. Jayengresmi, Jayengsari dan Rancangkapti. Jayengresmi inilah yang berganti nama menjadi Amongraga dalam pelariannya.

8 Mei 2010

Sejak lepas dari malam ke 17, aku sudah mulai menemukan feelnya novel Serat Centhini ini. Mungkin juga karena si Centhini sudah mulai tercerahkan dan lebih kritis dalam mengintip dengar dan menyikapi hidup di kesehariannya.
Ada kata-kata simbok Centhini yang sekarang menjadi begitu bermakna bagi Centhini.
"Lapar adalah lauk pauk bagi nikmatnya makan kita"
Dulu Centhini pikir itu hanya cara menenangkan diri karena hanya bisa makan apa adanya. Di hari ke 19 Centhini seolah tersadarkan, begitulah caranya menikmati hidup, bukan dari apa yang ada di luar diri kita, tapi tergantung dari sikap dan cara berpikir kita.
Dan Centhini-pun telah belajar dan telah meyakini pilihan hidupnya menjadi centhi sebagai abdi pelayan bagi kehidupan.

Maka sejak kemarin pula aku sangat berhasrat sekali menyelesaikan membaca buku ini. Dan tuntas juga buku ini tadi pagi, di tengah rinai sedari tadi.... :-)

Meski aku orang Jawa, awalnya aku 'gak mudheng blas' membaca pupuhnya yang bahasa Jawa klasik banget. Tapi lama-lama aku menikmatinya. Membaca pupuh-pupuh ini, rentetan kata-katanya sangat luar biasa indah dan halusnya. Memang sangatlah layak jika Serat Centhini ini ditahbiskan sebagai karya sastra hebat yang memenuhi syarat sebagai sebuah maha karya sastra. Padahal aku tidak baca serat Centhini secara utuh sebagaimana aslinya. Bagaimana kalau aku mendalaminya seperti Inandiak ya???.... Inandiak karena ketertarikannya kepada Jawa dia rela stay di Jawa selama 15 tahun. Ironis ya, karya sastra hebat yang bisa disejajarkan dengan karya sastra dunia ini justru diterjemahkan ke dalam bahasa lain dan bahasa Indonesia oleh bangsa Perancis, bukan bangsa kita. Maka tidak aneh jika muncul slogan 'wong jawa kog ra ngerti jawane'. Aduuuh.... maluu... malu banget yach???!!!...
Mangkane dulur kekabeh... ayo podho sregep moco ben ra ketinggalan jaman. Ayo sregep nulis ben biso memayu kahanan. Memayu hayuning bawana.... :-)
He lhadalah...langit kelap-kalap katon, bumi gonjang-ganjing... Ooo... throthok thok thok thok thok thok5x......
Duh Gusti Kang Murbeng Dumadi.....

Selasa, 04 Mei 2010

Dan kaca-kaca itupun lebur....



PrwaaAng... Prweng... PrwaAaang.... PyaaRRR!!!...
Begitu suara pecahan kaca itu menggelegar memekakkan telingaku... Direnggutnya kaca-kaca itu, dipatahkan, dibanting, dilempar. Prwaaang!... Beberapa kali serpihan kaca itu hampir mengenai wajahku... Aku takut kaca-kaca itu akan melukai dirinya, melukai tangannya.

Tangan seorang wanita setengah baya yang begitu perkasanya mengais-ngais pecahan kaca bagai mengais daun kering yang berserakan dengan tangannya tanpa beban. Kadang kala dia menarik paksa kaca-kaca yang terselip tanpa ragu sedikitpun akan terluka. Aku yang memandangnya dari sudut sini ngeri membayangkan seandainya sekali saja pinggiran kaca yang tajam itu menggores kulitnya, luka yang dalam, seketika akan mengucurkan tetesan derah merah, dan perih...

Tetapi melihat kepiawaiannya bekerja, rasanya kejadian seperti itu akan jarang sekali terjadi.
Dengan kaos tangan berbahan kain rajut tebal dan sepatu plastik warna ungu muda yang terlihat lusuh itu dia bekerja. Dibantu dengan dua asisten yang membantunya mengangkat ke dalam bak trek. Yang seorang adalah sopir trek yang membantu sekedarnya saja. Dan yang seorang lagi aktif membantu si ibu mengais sampah kaca dan memanggulnya untuk ditaruh ke dalam bak trek dengan menggunakan box plastik. Beberapa kali aku miris khawatir ujung pecahan kaca itu akan mengenai wajahnya. Wajah si abang terlihat dingin, seolah sudah lupa cara tersenyum. Entah sudah berapa panggul saja dia wira-wiri memanggul pecahan kaca ini ke dalam trek.

Kurang lebih 20 menit jerit pekik kaca-kaca inipun usai. Si abang bermuka dinginpun rehat sejenak untuk meneguk air mineral yang aku suguhkan. Mungkin sedikit menyegarkan hatinya yang keruh. Si ibu masih mengais sisa-sisa kaca yang masih tersisa.

Harga sebuah pekerjaan. Dan si ibu ini melakukannya tanpa beban, ringan saja. Akupun menyerah saja sampah-sampah ini mau dihargai berapa. Seandainya tidak dihargai/dibelipun aku tak mengapa sejujurnya. Karena bagiku ini sampah. Dan sampah-sampah ini jika tidak ada yang mengambil tentu akan menggunung. Ini sampah kaca, si ibu ini akan menjualnya ke pabrik untuk diproses lagi menjadi lembaran kaca yang lebih berarti. Ada nilai ekonomi dalam sampah kaca ini. Ibu ini menghargainya Rp 50 ribu, semuanya. Harga ini naik dari tahun-tahun sebelumnya. Awal-awal dulu hanya dihargai Rp 10 ribu, kemudian Rp 15 ribu. Dan sekarang naik sekian.

Bagiku, pemandangan penghancuran kaca pagi ini melukiskan kerasnya hidup yang dijalani oleh si ibu dan si abang.
Si ibu, kenapa dia bekerja sedemikian kerasnya?.. jauh-jauh dari darah asalnya jawa barat sana. Dimanakah suaminya? apakah dia bersuami? Anak-anaknya bagaimana? atau si abang ini anaknya?

Pertemuan yang singkat. Karena sedari tadi suara kaca yang banyak terdengar, bibir-bibir tajam kaca yang berbicara. Dan serpihan kaca-kaca ini telah meninggalkan makna dalam hati.
Hidup dan kehidupan adalah netral. Mau kita isi apa hidup ini, terserah kita. Dan hasilnya juga terserah dari apa yang telah kita usahakan. Dari apa yang telah kita gores untuk mengisi lembar demi lembar kehidupan ini.
Dan apa yang telah kita gores di dunia ini, kelak di akherat akan dihamparkan di depan mata kita, tak ada yang luput barang sedikitpun. Dan kelak kitapun akan terheran-heran karena catatan itu begitu detailnya.

Hari ini... Apa yang akan kita goreskan???....

Sabtu, 01 Mei 2010

Kutemukan Depleted Uranium di kamar anakku...



Beberapa waktu yang lalu aku menemukannya. Ketika aku sedang bersih-bersih kamar anakku. Tentu saja tidak DU (Depleted Uranium) sebagaimana wujud fisiknya. Aku menemukannya berupa fotocopy-an artikel tentang DU. ^_^ Betapa seram dan ngerinya seandainya benda ini ada di rumahku dan partikelnya terhirup olehku atau anak-anakku.

Judul artikel tersebut adalah "Memusnahkan Generasi Dengan Depleted Uranium"
Ngeri sekali membaca artikel ini. Bayi-bayi yang tak berdosa harus terkapar lemah tak berdaya dengan aneka cacat tubuh yang menyayat kalbu. Karena efek ini juga seorang pria dewasa yang perkasapun bisa terkapar di dera 2-3 jenis kanker dalam tubuhnya.

Depleted Uranium dan phosphor putih ditengarai digunakan dalam senjata di medan peperangan itu. Partikel-partikel yang disebarkan senjata ini begitu kecilnya sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk bisa keluar dari badan. Dengan ukuran di bawah 10 mikron maka partikel itu bisa memasuki jaringan paru-paru paling dalam dan bersarang di dalamnya secara permanen. Ini dibuktikan dengan ditemukan unsur DU dalam air seni para veteran perang Iraq setelah 9 tahun peperangan usai.

Hal itu sekaligus mematahkan argumen militer Amerika dan para pendukungnya yang berpegang pada penelitian Rand Corp Study. Menurut mereka, DU tidak berbahaya sebagaimana uranium alam yang dihirup para penambang. Tentu kedua unsur itu tidak bisa disamakan, karena memiliki ukuran yang berbeda. Debu uranium alam sangat kasar, sehingga dalam waktu 24 jam bisa keluar dari tubuh bersama urine, berbeda dengan DU yang digunakan untuk senjata.
Dan taukah kita? bahwa diperkirakan lebih dari 10 ribu triliun partikel DU yang masih mengambang di udara Iraq dan Afganistan.

Setelah menemukannya di kamar anakku, sayup-sayup terdengar berita dari televisi, seorang imigran gelap asal Afganistan sedang dikejar-kejar oleh petugas yang akhirnya tertangkap juga di sebuah pertokoan, di tengah keramaian.
Ya, seorang pemuda. Aku tidak tau kenapa dia menjadi imigran gelap, dan berapa banyak imigran gelap asal Afganistan. Apakah dia datang ke sini karena menghindari DU itu atau karena sebab yang lain. Dan aku juga tidak tau bagaimana perlakuan aparat kita kepada pemuda ini selanjutnya.
Yang aku tau, sesama muslim itu ibarat satu tubuh. Jika satu organ tubuh kita sakit, maka tubuh kita akan terasa sakit.

Dan yang pasti ketika browsing gambar yang sesuai untuk goresanku ini, ketika aku ketikkan kata depleted uranium, gambar-gambar kengerian yang tampak, sehingga tak sampai hati aku menampilkannya di postingan ini.
Bagaimana juga perasaan ibu-ibu yang melahirkan bayi-bayi ini dan orang-orang korban senjata ini???... Sungguh tak terperikan. Ngeri ngeri ngeri aku membayangkannya...